Kamis, 14 Agustus 2014

SEMAR ATAU AJISAKA ? Pertapaan Terakhir di Telaga Warna Dieng


Kyai Lurah Semar Badranaya adalah tokoh legendaris pewayangan Jawa dan Sunda. Dalam cerita versi India dengan Berbahasa Sansekerta, tokoh Semar tidak dikenal.Tokoh ini sering muncul sebagai pamomong para satria yang berada dalam kebenaran pada cerita Mahabarata dan Ramayana versi Jawa.

 Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun.

Pertapaan Terakhir Semar di Telaga Warna Dieng

Namun ditengah masyarakat Jawa khususnya, tokoh Semar merupakan sosok yang riil dan sampai sekarang masih hidup dalam rangka mengawal kehidupan manusia di Tanah Jawa. Semar menjadi tokoh sentral kebijaksanaan dan pelindung terutama pada filsafat-filsafat kepemimpinan. Banyak orang percaya bahwa Semar akan hadir dan membantu kepada para pemimpin atau manusia berbudi luhur yang mampu membawa kepada kesejahteraan dan keadilan.

Oleh Masyarakat Wonosobo, Semar dipercaya pernah bertapa di Pegunungan Dieng yaitu di Gua Semar sebelah Telaga Warna Dieng Kabupaten Wonosobo. Lokasi itu dipercaya sebagai istana terakhir Mandala Sari alias Semar. Di sanalah Semar bersemadi abadi setelah sering bertapa di berbagai tempat.

Kepercayaan keberadaan Semar di Dieng inilah yang mungkin membawa Gua Semar menjadi tempat yang disakralkan sehingga banyak raja-raja Jawa dan pemimpin bangsa ini konon pernah berziarah dan bermeditasi di sana. Sifat Semar yang bijaksana dan mengayomi bisa jadi memberikan intuisi yang kuat kepada orang-orang yang bermeditasi di sana sehingga dapat tertempa batin dan jasmaninya untuk menjadi pribadi yang lebih kuat.

Apakah Semar Adalah Manivesto Dari Aji Saka?

Dari beberapa sumber , muncul telaah baru dari pribadi Semar yang dinyatakan sebagai panutan hidup yang memberikan tuntunan keselamatan hidup. Aliran ini memaknai bahwa Semar adalah tokoh asli Jawa yang keberaadaannya lebih lama dari masuknya Agama Hindu dan Budha di Nusantara. Semar telah memberikan pondasi yang kuat untuk masyarakat Jawa di masa lampau untuk menyembah Tuhan.Sebagai cikal orang Jawa, Semar dianggap telah memberikan konsep sastra awal untuk dapat memberikan pelajaran pada manusia Jawa. Konsep huruf Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka akhirnya menurut pendekatan ini diyakini sebagai karya Ki Semar Badranaya.

Menurut Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Menurut Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan oleh Semar. Maka dengan logika ini maka bisa dikatakan pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka.

Selama ini huruf Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka dipercaya adalah karya Aji Saka yang terkenal karena epos gugurnya dua orang abdinya demi mempertahankan amanah yang mereka terima. Dengan adanya pendekatan baru bahwa Semar adalah pencipta Ha-Na-Ca-Ra-Ka, maka akan muncul pertanyaan siapakah “yang benar” menciptakan akasara Jawa. Akan lebih dalam lagi jika muncul pemikiran apakah Semar adalah Aji Saka itu sendiri?

Adanya cerita Aji Saka yang mendorong Prabu Dewata Cengkar ke Laut Selatan menunjukan bahwa lokasi Istana Aji Saka berada di pesisir Pulau Jawa dan setelah tidak berkuasa lagi mungkin Aji Saka pergi ke pedalaman dan bertapa di Pegunungan Dieng? Tentunya perlu kehati-hatian dalam menarik hipotesa legenda ini karena bagaimanapun tidak ada bukti konkret walaupun hanya berupa mythe. Namun jika berandai-andai bahwa Semar adalah Aji Saka, dan kemudian bertapa dan moksa di Dieng, tentunya peradaban di wilayah Dieng dan derah sekitarnya sudah ada sejak dahulu sekali,bahkan mungkin sebelum masehi.Wallahu Alam.



Daftar Referensi :

1 komentar: