Sabtu, 21 Oktober 2017

KI AGENG WONOSOBO – CIKAL KERAJAAN MATARAM

Tulisan ini merupakan penambahan kajian legenda dan literasi pada tulisan saya di www.jatiningjati.com pada medio Tahun 2009 dengan judul artikel “ Ki Ageng Wonosobo : Cikal Raja-Raja Mataram Islam”. Dengan semakin banyaknya teman dan sahabat pecinta sejarah atau legenda Wonosobo yang meminta saya sedikit menggali kembali keberadaan Ki Ageng Wonosobo maka saya share kembali artikel tersebut dengan beberapa tambahan versi dan penelusuran literasi. Semoga berkah dan ridho Allah bersama kita. Amin. 

Trah Raja Mataram Islam bermula dari sebuah daerah yang bernama Kabupaten Wonosobo tepatnya di Desa Plobangan Kecamatan Selomerto. Di sanalah Situs Makam Ki Ageng Wonosobo ( Kyai Ageng Ngabdullah) berada yang saat ini menjadi salah satu Obyek Wisata Ritual Kabupaten Wonosobo. Lepas dari pro kontra siapa sebenarnya Ki Ageng Wonosobo ini namun yang jelas nama beliau yang sama dengan Kabupaten Wonosobo menunjukkan bahwa di wilayah Wonosobo pada abad ±14 M telah ada kehidupan sosial kemasyarakatan.

Ki Ageng Wonosobo dikenal pula dengan nama Kyai Ageng Ngabdullah juga ada yang menyebut beliau Ki Ageng Dukuh, sedangkan di Desa Plobangan lebih dikenal dengan nama Ki Wanu atau Ki Wanuseba. . Menurut saya perbedaan nama ini lebih cenderung disebabkan dialek daerah tersebut terpengaruhi oleh dialek Banyumas (www.jatiningjati.com). Nama kecil beliau adalah Raden Depok namun ada juga yang menyebut nama kecil beliau Raden Joko Dukuh. Menurut beberapa versi Beliau lahir di Kota Gede Yogyakarta pada sekitar Tahun 1500 Masehi. Siapa Ki Ageng Wonosobo atau Ki Ageng Dukuh ini?

Menurut versi “Bale Kajenar Kota Gede” Beliau merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V Raja Majapahit terakhir dan merupakan putra dari Raden Bondan Kejawen (Lembu Peteng) putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih. Nawangsih sendiri adalah putri dari Ki Joko Tarub yang menikah dengan Dewi Nawangwulan (epos Joko Tarub). Secara trah keturunan, Ki Ageng Wonosobo masih Sayid atau keturunan Nabi Muhammad SAW karena Ki Joko Tarub adalah putra dari Maulana Malik Ibrahim yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dari Trah Hendramaut. Ki Ageng Wonosobo merupakan keturunan langsung yang terhubung kepada Sayidina Ali bin Abu Thalib lewat jalur Imam Husain bin Ali.

Menurut versi Serat Walisana dalam buku “Mengislamkan Tanah Jawa” karya Wijil Saksono yang ditulis kembali oleh Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR pada Buku “Mata Air Peradaban”, jauh sebelum era Mataram Islam yaitu pada era Kerajaan Demak sudah terdapat nama “Wonosobo” atau “Wanasaba” yang dipakai sebagai gelar seorang tokoh yaitu Ki Gede Wanasaba. Menurut Serat Walisana sudah disebut adanya Wali Nukba yang merupakan bentuk muradif bagi kata ‘uqbah atau badal yang berarti wakil, belakangan atau pengganti yang didalamnya menyebut nama Ki Gede Wanasaba.

Masih Menurut versi Serat Walisana, nama Ki Gede Wanasaba tertuang dalam Serat Walisana, pupuh XXIX, bait 10 – 13 yang memakai langgam Asmarandana sebagai berikut :

Kang nututi ambek wali / Anenggih Sunan Tembayat / lan Sunan Giri Parepen / Jeng Sunan Kudus kalawan / Sultan Syah ‘Alim Akbar / Pangeran Wijil Kadilangu / Kelawan Kewangga / Ki Gede Kenanga Pengging / malihe Pangeran Konang / lawan Pangeran Cirebon / lan Pangeran Karanggayam / myang Ki Ageng Sesela / tuwin myang Pangeran Panggung / Pangeran ing Suparingga / Lan Kiai Juru Mertani / ing Giring myang Pemanahan / Buyut Ngerang Sabrang Kulon / lan Ki Gede Wanasaba / Panembahan Palembang / Ki Buyut ing Banyubiru / lawan Ki Ageng Majastra / Malihe Ki Ageng Gribig / Ki Ageng ing Karontangan / Ki Ageng ing Toyajene / lan Ki Ageng Tuja Reka / pamungkas Wali-Raja / nenggih Kanjeng Sultan Agung / kasebut Wali Nubuwat. 

Dalam hubungannya dengan berdirinya Mataram Islam, Ki Ageng Wonosobo berputra Pangeran Made Pandan yang dibeberapa literatur yang saya baca merupakan nama lain dari Ki Ageng Pandanaran pendiri Kota Semarang pada era Demak Bintoro. Pangeran Made Pandan berputra Ki Ageng Saba. Ki Ageng Saba ini ada kemiripan dengan Ki Ageng Wonosobo namun tidak jelas apakah keberadaan Ki Ageng Saba ada kaitannya dengan Wonosobo tempo dulu. Selanjutnya, Ki Ageng Sobo mempunyai seorang putri yang menikah dengan Ki Ageng Pemanahan yaitu Nyi Ageng Pemanahan yang merupakan Ibu dari Sutowijoyo atau lebih dikenal dengan Panembahan Senopati ing Alogo Syekh Sayyidina Pranoto Gomo (Panembahan Loring Pasar ? ) pendiri Kerajaan Mataram Islam di Kota Gede Yogyakarta. Dari Penembahan Senopati ini turunlah trah Ki Ageng Wonosobo menjadi raja-raja Mataram Islam sampai dengan era Keraton Surakarta Kasunan, Keraton Ngayogyakrto Hadiningrat, dan Mangkunegaran sekarang ini.

Menurut beberapa versi, trah Ki Ageng Wonosobo banyak menjadi penguasa di Tanah Jawa karena strategi para Wali untuk syiar Islam dengan mendirikan Kerajaan Islam di Tanah Jawa. Salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa atau di daerah lain harus mendapatkan “Legitimasi / Pengesahan” dari Mekah dan / Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para “Ahlul Bait”. Ki Ageng Wonosobo merupakan “Ahlul Bait” sehingga keturunannya digembleng untuk persiapan memperkuat Kesultanan Islam di masa itu.

Ki Ageng Selo yang terkenal dengan kesaktiannya menangkap petir pada era Kerajaan Demak merupakan menantu dari Ki Ageng Wonosobo. Ki Ageng Selo menikah dengan salah satu putri Ki Ageng Wonosobo dan menurunkan seorang putra bernama Ki Ageng Enis (Makamnya di Laweyan Solo). Ki Ageng Enis merupakan tokoh penyebar Agama Islam terkemuka di era Kerajaan Pajang pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir). Begitu terkenalnya Ki Ageng Selo pada waktu itu sehingga konon pertemuan beliau dengan Ki Ageng Wonosobo diabadikan dengan nama wilayah yaitu Selomerto. Sedangkan tempat pernikahan Ki Ageng Selo dengan putri Ki Ageng Wonosobo dinamakan Selokromo.

Menilik versi legenda lokal yang berkembang di Desa Plobangan, Ki Ageng Wonosobo kono adalah murid dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang kemudian ditugaskan untuk menyebarkan Agama Islam di Wilayah Jawa Tengah. Dalam pengembaraannya Ki Ageng Wonosobo menemukan tempat yang cocok untuk mendirikan padepokan dan membuka hutan serta lahan di daerah tersebut. Wilayah yang dibuka oleh Ki Ageng Wonosobo ini adalah wilayah Desa Plobangan saat ini. Kata Wonosobo merupakan pentasbihan nama wilayah tersebut atas jasa besar Ki Ageng Wonosobo membangun daerah tersebut.Masih menurut versi legenda lokal, Ki Ageng Wonosobo merupakan sosok yang berwibawa dan mempunyai banyak ilmu selain ilmu agama. Beliau pandai bercocok tanam sehingga lama kelamaan berdatangan banyak pengikut dan orang yang bermukim di Plobangan Wonosobo.

Sampai saat ini hanya ada satu makam Ki Ageng Wonosobo yang terdapat di Desa Plobangan, tidak ada makam dengan nama yang sama di daerah lain seperti yang sering dijumpai pada punden atau tokoh penting masa lalu. Gelar Ki Ageng pada masa lalu merupakan gelar yang tidak main-main karena gelar tersebut diberikan kepada orang yang mempunyai kemampuan besar di bidang agama dan pemerintahan serta mempunyai banyak kelebihan dan kemampuan. Konon Ki Ageng Wonosobo tidak hanya berdakwah di wilayah Wonosobo saja namun ada yang mengatakan bahwa beliau juga berdakwah di wilayah Yogyakarta dan Solo. Di wilayah Solo konon terdapat Masjid tua yang merupakan peninggalan Ki Ageng Wonosobo. Oleh penduduk setempat Masjid tersebut disebut Masjid Tiban karena oleh Ki Ageng Wonosobo hanya dibuat dalam waktu satu malam. Penulis sampai saat ini belum bisa mencari Masjid tersebut karena belum bisa mencari titik tepat keberadaan Masjid peninggalan Ki Ageng Wonosobo tersebut.

Dalam versi lain sebuah catatan kesultanan Ngayogyakarta, oleh KRT. Yudodipraja tahun 1991 , menjelaskan terkait Ki Ageng Wonosobo bahwa nama beliau bukan Syech Ngabdullah tetapi Syekh Kabidullah. Adapun nama Syech Ngabdullah adalah nama lain dari Ki Getas Pandawa saudara dari Ki Ageng Wonosobo. Kemudian nama Raden Depok bukan nama kecil Ki Ageng Wonosobo namun nama kecil dari Ki Ageng Getas Pandawa. Kedua beliau ini berguru kepada Sunan Gunung Jati dan menjadi menantu dari Sunan Gunung Jati ,

Catatan Kesultanan Ngayogyakarta KRT Yudodiprojo Tahun 1991.

 Raden Joko Dhukuh Manjing Islam Nyekabet dhateng Sunan Mojogung Gunung Jati tanah Cirebon lajeng kapundhut mantu keparingan nama Syeh Kabidullah, dedalem Ing Wonosobo karan Ki Ageng Wonosobo,

Raden Dhepok Manjing Islam nyekabet dhateng Sunan Mojogung Gunungjati ugi kapundhut mantu keparingan nama Syeh Ngabdulloh dedalem ing Getas Pandhawa.

Situs makam beliau saat ini telah dipugar dan dijaga dengan baik oleh warga sekitar. Lokasi Situs makam ini sangat dihormati oleh masyarakat dikarenakan Ki Ageng Wonosobo merupakan tokoh penyebar Agama Islam dan sekaligus cikal dari Desa Plobangan Selomerto. Di sekitar makam Ki Ageng Wonosobo terdapat tiga makam kuno lain yang dipagar. Kono ketiga makam ini juga para pendahulu yang merupakan Ulama di era yang sejaman dengan Ki Ageng Wonosobo. Salah satunya adalah Kyai Chotik yang makamnya berada di bawah pohon beringin yang sangat tua dan besar. Diameter pohon beringin ini sekitar 4 meter (mengingatkan saya dengan pohon beringin di Ibu Kota Mataram Kota Gede Jogja) dan makam Kyai Chotik dikelilingi oleh akar pohon beringin tersebut. Makam Kyai Chotik sendiri hanya berjarak kurang lebih 10 meter dari Makam Ki Ageng Wonosobo.

Keberadaan situs Ki Ageng Wonosobo ini semakin menguatkan bahwa pada abad 14 M , Wonosobo sudah mempunyai peran yang cukup penting dalam pengembangan Agama Islam sekaligus mungkin sudah mempunyai pemerintahan di tingkat kecil (mungkin pedukuhan). Yang jelas ketepatan sejarah dari Ki Ageng Wonosobo yang dimakamkan di Desa Plobangan Kecamatan Selomerto ini perlu ditelaah lagi dengan seksama. Beberapa waktu lalu konon pihak Keraton Jogjakarta sudah memasukkan makam ini dalam salah satu situs Punden Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Wallahu Alam (Bimo Sasongko / www.jatiningjati.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar