Selasa, 07 Juni 2016

“SEDIKIT” MEMBUKA SEJARAH PERJUANGAN WONOSOBO

Hari Senin Pahing Pukul 08.00 pagi Tanggal 20 Desember 1948, sehari setelah bombardemen Yogyakarta, Kota Wonosobo mendapat serangan dari udara yang dilakukan oleh Belanda dengan mengerahkan empat pesawat B-29 dan dua pesawat capung.Mereka menyerang dengan semena-mena memuntahkan peluru dan menjatuhkan bom secara membabi-buta hingga Kota Wonosobo luluh lantak. 

Mereka menembaki dari udara toko-toko disepanjang Pasar Wonosobo, memberondong Pendopo Kabupaten dan sekitarnya termasuk Gereja St. Paulus, rumah-rumah penduduk di Kampung Longkrang, Semagung, Mangli, dan masih banyak lainnya. Penembakan bertubi-tubi juga dilakukan pada rumah-rumah di sepanjang Jl. Bismo, Kampung Kauman dan Sumberan, yang saat itu berbarengan waktunya dengan bergeraknya Pasukan Siliwangi menuju Jawa Barat setelah beristirahat semalam di Wonosobo. 

Selain itu Pesanggrahan Selomanik dan Kompleks Dena Upakara juga tidak luput dari incaran serangan udara Belanda karena dikira masih digunakan sebagai markas Tentara Indonesia. Markas Komando Ketentaraan dan Kegiatan Pemuda yang sekarang berdiri Perpustakaan Wonosobo juga dibombardir dari udara. Keesokan harinya Tentara darat Belanda memasuki Kota Wonosobo dengan tank-tank dan mobil-mobil baja mengira bahwa Republik Indonesia dalam sekejab telah dikalahkan. Namun Tanggal 21 Desember 1948 Pemerintahan Sipil dan Komando-Komando Distrik Militer di Wonosobo telah berada di Dukuh Sribit kemudian menempuh serangkaian perjalanan panjang dengan mengatur pemerintahan dan siasat operasional militer. 

Bupati Kepala Daerah pada waktu itu adalah R.Soemindro dan Komando Militer dipimpin oleh Mayor Kardjono. Operasi militer yang dilakukan oleh TNI, Masyarakat,dan Pemuda terus dilakukan seperti pendadakan, penyergapan, ataupun penghadangan seperti yang dilakukan di Banaran, Pringapus, Reco, Kapencar, Wediasin, Kaliwiro, sepanjang jalan Selokromo-Tunggoro, dan sekitar perbatasan Kabupaten Wonosobo – Temanggung. Secara hakekatnya Pasukan Belanda hanya mampu menguasai Kota Wonosobo, Kertek, Sapuran, dan Sawangan akibat perlawanan dan perang gerilya para pejuang Indonesia. 

Dalam kondisi perlawanan sengit itu, Pasukan Belanda juga terus melakukan serangan udara di beberapa tempat dan juga mengadakan operasi militer untuk melumpuhkan TNI seperti di Mungkung ,Balekambang, dan Semayu. Desa Perboto mendapat hajaran patroli Belanda sehingga menewaskan 41 orang penduduk desa. Selanjutnya keganasan Pasukan Belanda berlanjut di Desa Jetis dan Garung dengan membakar rumah-rumah penduduk. Di Desa Mlandi satu orang anak petani tewas ditembak ketika berladang. Sedangkan Pasukan Belanda memasang ranjau di Mata Air Mudal sehingga mencelakakan warga setempat. Di Desa Lipursari dan Selokromo serdadu Belanda melakukan penggledahan rumah-rumah secara masal dan membakar Rumah Lurah serta balai desa kedua wilayah tersebut. 

Tanggal 18 Oktober 1949 Kota Wonosobo kembali ke tangan Ibu Pertiwi dengan diserahkannya Kota Wonosobo kepada Republik Indonesia oleh Belanda. Kabupaten Wonosobo merupakan wilayah ke-2 setelah Yogyakarta yang diserahkan Belanda kepada Republik Indonesia.Suasana heroik dan khidmat terjadi ketika Jam 10.00 pagi pasukan TNI memasuki kota dan segera mengadakan upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih di halaman depan Hotel Dieng ( sekarang Hotel Kresna). Dengan adanya peristiwa ini pada waktu itu nama Hotel Dieng diganti dengan nama Hotel Merdeka. Tanggal 20 Oktober 1949 rombongan Pemerintah Sipil dikawal oleh satuan-satuan gerilya dengan dielu-elukan masyarakat Wonosobo ,memasuki kota dan dengan haru memasuki Pendopo Kabupaten yang tinggal terlihat lantai akibat hancur karena dampak perang. 

Sumber : Rangkuman Buku Monumen Perjuangan Kemerdekaan Kab. Wonosobo 1984.

2 komentar:

  1. Great!
    Ditunggu postingan selanjutnya ya sedulur....

    Mari buka selubung sejarah Wonosobo yang ditimbun waktu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus