Kamis, 15 Januari 2009

REKONSTRUKSI PEMBANGUNAN DI BIDANG PENDIDIKAN (Sebuah Mimpi Yang Harus Menjadi Kenyataan)

Isu pendidikan merupakan sebuah primadona sentral dalam setiap pemikiran dan wacana kemajuan Negeri ini. Keinginan sebuah konsep yang jelas dengan berpihak kepada rakyat banyak merupakan harapan dan tentunya untuk segera dapat direalisasikan. Hal ini tidak hanya sebagai euphoria wacana saja namun merupakan sesuatu yang primer di mana kondisi pendidikan kita yang cukup memprihatinkan. Human Development Index Indonesia berdasarkan hasil laporan UNDP pada tahun 2005 menduduki 110 dan 170 Negara. Bahkan Indonesia hanya sedikit bernasib baik dibandingkan dengan Timor Leste yaitu berada di level dua dari bawah di ranah ASEAN.


Sebenarnya kondisi Pendidikan Nasional Indonesia harus sesegera mungkin direkonstruksi dengan memberikan focus of interest kepada hal penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar yang integral, kondusif ,dan representatif. Pendidikan Dasar dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Pertama baik yang bernaung pada Departemen Pendidikan maupun Departemen Agama, sudah semestinya mengacu kepada kepentingan masyarakat dengan keberanian untuk membebaskan biaya sekolah demi kelancaran dan pemaksimalan hasil produk pendidikan di Indonesia. Yang memprihatinkan bahwa Indonesia mempunyai record sebagai negara yang kurang konsen kepada bidang pendidikan dilihat dari keengganan untuk memberikan kebijakan sekolah gratis seperti yang dilakukan oleh negara-negara berkembang lainnya.


Rekonstruksi pendidikan di Indonesia mencakup banyak faktor yang melibatkan banyak elemen di lingkup bidang pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini selain keharusan dan kesegeraaan adanya sekolah gratis, perlu juga merevitalisasi tugas dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, serta melaksanakan system Manajemen Berbasis Sekolah dengan seefisien mungkin dan tepat sasaran. Pembenahan demi pembenahan semestinya lebih terpola dan benar-benar didasari oleh sebuah keinginan yang kuat untuk mengadakan perbaikan tidak semata euphoria wacana ataupun ego sentris. Sesuai dengan faktor yang harus mendapat perhatian di atas perlu sebuah rencana yang matang untuk dapat mencapai tujuan rekonstruksi pendidikan di Indonesia.


Pertama, membuat konsep sekolah bebas biaya dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas baik di lingkup Departemen Pendidikan maupun Departemen Agama diawali dari pemenuhan kebutuhan buku yang bermutu bagi semua tingkatan sekolah dan pemenuhan laboratorium pendidikan bagi tingkat Sekolah Menengah Pertama sampai dengan Sekolah Menengah Atas. Setelah itu secara detil dan hati-hati membuat perhitungan cash flow setiap sekolah yang nantinya dikumpulkan dalam tiap tingkatan baik di tingkat nasional maupun daerah untuk dapat dihitung jumlah total kebutuhan untuk menyelenggarakan sekolah gratis dengan memaksimalkan atau mengacu dua puluh persen anggaran untuk pendidikan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Dengan adanya data konkret kebutuhan penyelenggaraan Pendidikan ini maka akan dapat dilihat jumlah dan kebutuhan riil budget yang semestinya harus dikeluarkan untuk menggratiskan sekolah bagi seluruh rakyat. Yang perlu dipahami dalam konteks sekolah gratis untuk seluruh rakyat adalah bahwa pembebasan biaya ini diberikan kepada semua unsur masyarakat tanpa membedakan ras,agama, suku, bahkan tingkat sosial ekonomi. Subsidi di bidang pendidikan ini memang semestinya berlaku untuk semua dengan asumsi bahwa dengan adanya usaha peningkatan pendapatan negara dari pajak dewasa ini maka akan terjadi subsidi silang antara warga miskin dan kaya lewat jumlah besar pajak yang dibayarkan.


Kedua, revitalisasi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai advisory agency (pemberi pertimbangan), supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), controlling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan mediator atau penghubung atau pengait tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah menempati posisi yang cukup strategis untuk berperan lebih intensif dalam perbaikan pendidikan di Indonesia. Salah satu tugas dan fungsi yang semestinya direvitalisasi adalah dalam fungsi kontrol kedua lembaga ini di mana fungsi kontrol yang melekat kurang diikuti dengan kekuatan nilai tawar sehingga terkesan masukan yang berupa evaluasi kepada pihak-pihang penyelenggara pendidikan kurang mendapat perhatian atau bahkan tidak ada respon. Hal ini terjadi karena Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sering dianggap sebagai outsider sehingga tidak berhak mencampuri urusan yang dianggap internal oleh pihak penyelenggara pendidikan. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya internalisasi kasus-kasus atau keluhan pelayanan pendidikan sehingga tidak memenuhi persyaratan transparasi dan akuntabilitas publik. Semestinya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah diberi sesuatu kekuatan pressure dalam batas tertentu untuk dapat benar-benar menjadi controlling agency guna meningkatnya mutu pendidikan kita. Adanya Pengawas Sekolah sebagai pelaksana fungsi kontrol internal tentunya masih tetap ada, namun dengan koridor yang jelas maka tidak akan terdapat tumpang tindih kewenangan bahkan akan saling mendukung. Konsep bentuk kekuatan nilai tawar Dewan Pendidikan dalam usaha memberikan evaluasi kepada penyelenggara pendidikan antara lain dapat diwujudkan dengan memberikan prosentase penilaian akreditasi sekolah maupun diberi kewenangan untuk mempublikasikan hasil evaluasi kepada khalayak publik. Dalam hal ini Komite Sekolah yang menjadi benteng controlling agency pertama di mana dalam setiap keputusan penyelenggaraan dan pengembangan sekolah ikut dilibatkan, dapat memberikan pelaporan kepada Dewan Pendidikan maupun instansi terkait bilamana terdapat ketidakberesan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolahnya yang tidak dapat diatasi secara internal semisal masuk ke ranah hukum.

Ketiga, pemantapan dan pemaksimalan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Program ini dalam kerangka awal adalah bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan melibatkan masyarakat sehingga tercipta situasi dan lingkungan yang kondusif bagi peserta didik agar dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Peran serta seluruh elemen di sekolah dan masyarakat sekitar berpengaruh besar tehadap suksesnya program ini. Dalam usaha untuk mewujudkan keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) perlu adanya pelatihan-pelatihan baik dari segi aturan main, manajemen, maupun strategi untuk dapat menemukan solusi dan ide kreatif guna pengembangan. Hal yang patut diperhatikan adalah bahwa kemampuan masyarakat dalam melaksanakan MBS dapat dipastikan tidak sama. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi wilayah, tingkat perekonomian masyarakat sekitar, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu perlu pendekatan pelatihan yang disesuaikan dengan kondisi setempat jangan sampai konsep atau rencana pengembangan disebuah sekolah terlalu tinggi sehingga sulit untuk direalisasikan karena apabila rencana program sampai gagal dilaksanakan karena kurang tepatnya analisis SWOT maka bisa terjadi situasi yang tidak kondusif dan mematikan semangat dari para pelaku Program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini.

Secara umum rekonstruksi pendidikan bertujuan untuk terciptanya peluang yang sebesar-besarnya kepada anak usia sekolah untuk mendapat hak pendidikan dengan semurah-murahnya atau gratis dan mendapatkan pelayanan mutu pendidikan yang prima. Investasi Negara di bidang pendidikan sudah semestinya menjadi prioritas utama demi kelangsungan perkembangan intelektual bangsa dan terciptanya sumber daya manusia yang kapabel.Mungkin dengan penitikberatan pembangunan di bidang pendidikan ini mampu membawa keterpurukan bangsa ini menjadi sebuah kejayaan.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar