Jumat, 19 Juni 2009

PERPUSTAKAAN TANPA DINDING;Alternatif Perpustakaan Untuk Rakyat

Membangun sebuah komunitas masyarakat yang kuat tak akan dapat lepas dari kebiasaan komunitas itu dalam berusaha membekali diri dengan ilmu pengetahunan. Terlalu naïf jika semua hal yang bersinggungan dengan peningkatan sumber daya manusia hanya dititikberatkan pada kegiatan pembelajaran formal belaka. Pemerintah harus sudah mulai dengan kesungguhan untuk memberikan solusi tepat agar masyarakat dapat mencari ilmu diluar pendidikan formal. Salah satunya adalah Perpustakaan.

Membangun sebuah perpustakaan tentunya bukan merupakan hal yang mudah jika kita meninjau dari segi pendanaan. Bisa dibayangkan apabila tiap desa di Republik Indonesia ini dibangun perpustakaan yang standar lengkap dengan bangunan, pegawai, perangkat, dan koleksi buku yang setiap saat harus di update.Berapa trilyun rupiah yang harus dibelanjakan dan berapa trilyun pula dana yang nantinya dikeluarkan untuk merawat kelanggengan perpustakaan tersebut. Kendala pendanaan ini menjadi suatu hal yang klasik dalam dunia perpustakaan. Hal ini ditambah dengan kesadaran gemar membaca masyarakat Indonesia yang sedemikian rendah terbukti dengan Human Development Index kita yang kurang memuaskan.

Di negara maju, konsep perpustakaan sudah mulai bergeser dari perpustakaan konvesional ke perpustakaan modern yang menumpukan inovasinya pada digitalisasi perpustakaan. Kesungguhan dari negara maju dalam menerapkan konsep ini berimbas pada perkembangan luar biasa di dunia internet hingga muncul istilah Perpustakaan Tanpa Dinding. User bisa mengakses informasi atau buku-buku yang ingin dibaca hanya dari komputer yang terkoneksi dengan jaringan internet. Masa peralihan ke perpustakaan modern ini dimulai dari penggunaan automasi perpustakaan menuju ke perpustakaan digital.

Inovasi Perpustakaan Tanpa Dinding ini sebenarnya merupakan solusi tepat dalam mengembangkan Perpustakaan di Indonesia. Pemerintah atau Lembaga-lembaga yang perduli terhadap tumbuh kembangnya perpustakaan dapat mulai merancang konsep terpadu untuk membuat perpustakaan digital yang kemudian di sajikan kepada masyarakat. Ada aspek yang semestinya diperhatikan dalam usaha ini yaitu penyedian akses internet yang murah kepada masyarakat. Tanpa adanya aspek ini usaha untuk membuat perpustakaan tanpa dinding akan menjadi timpang. Jika akses internet sudah murah dan merata keberadaannya di negeri ini, maka setiap desa hanya membutuhkan komputer dan ruangan yang kecil untuk membangun sebuah perpustakaan. Bahkan bukan user yang datang ke perpustakaan tapi perpustakaanlah yang didatangkan ke tempat user.

Pada awal kosep perpustakaan digital ini dijalankan tentunya akan memakan banyak tenaga dan dana, namun hasil yang akan dicapai tentunya luar biasa. Bagaimanapun era informasi digital telah merajai dunia dewasa ini. Masyarakat tentunya berhak untuk mendapatkan informasi sebesar-besarnya sehingga mempunyai pola pikir yang maju . Bermilyar-milyar informasi bisa didapat jika wacana Perpustakaan Tanpa Dinding ini benar-benar diwujudkan. Pemerataan informasi ini akan lebih terjamin dari pada menggunakan cara konvensional. Pembangunan perpustakaan yang masih menggunakan koleksi buku sebagai titik beratnya di Indonesia saat ini terbukti kurang bisa melayani area dengan cakupan luas hingga masyarakat banyak yang tidak terjangkau layanan perpustakaan.

Namun Pembangunan Perpustakaan konvensional yang sekarang masih gencar diupayakan dengan melalui pendirian Pojok Baca maupun Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tetap harus didukung dan dihargai karena dalam setiap kemajuan perlu didapat melalui proses hingga tidak terjadi culture lag terutama di kalangan masyarakat pedesaan. Perlu rangkaian sinergi yang cerdas antara perpustakaan konvensional dan perpustakaan modern di Indonesia hingga terwujud tujuan yang akan dicapai yaitu masyarakat gemar membaca dan bebas buta aksara.

Pada dasarnya buku sebagai point penting dalam perpustakaan tidak dapat dihapus demikian saja dengan mengandalkan perkembangan teknologi informasi dewasa ini. Namun sinergi antara buku dengan informasi yang di dapat dari dunia maya semestinya bisa dibangun seiringan. Model perpustakaan seperti ini sepertinya sangat cocok diterapkan di pedesaan dengan syarat akses internet telah dapat menembus wilayah pedesaan. Dengan dana yang terbatas maka kecenderungan buku-buku di perpustakaan pedesaan akan mengalami stagnan karena tidak mampu membeli banyak buku terbitan terbaru. Kelemahan ini dapat ditutup dengan pensosialisasian Perpustakaan Tanpa Dinding ini dimana pengguna perpustakaan yang ingin menambah ilmu atau informasi yang baru bisa diarahkan untuk memakai teknologi internet. Walaupun pertambahan buku dalam perpustakaan tersebut berjalan melambat tetapi masyarakat pengguna perpustakaan di wilayah tersebut tidak akan tertinggal dalam mendapatkan hal-hal baru.

Sebagai ilustrasi lebih lanjut, syarat minimal sebuah wahana baca disebut perpustakaan jika minimal sudah mempunyai 1000 judul buku atau 2500 eksemplar. Apabila kurang dari itu wahana baca tersebut masih masuk ke kategori Taman Bacaan Masyarakat . Dengan kondisi ini, masyarakat pedesaan akan kesulitan dalam memenuhi standar perpustakaan yang baik. Hal tersebut belum dikalkulasikan dengan keperluan lain seperti mebeler, honorarium pegawai, pertambahan koleksi, gedung, dan lain sebagainya. Jika wacana Perpustakaan Tanpa Dinding bisa diadopsi dengan Taman Bacaan Masyarakat maka sebuah wahana baca hanya memerlukan sekitar 500 buku dan satu unit komputer pada awal dengan gedung yang tidak begitu luas. Jika akses internet murah benar-benar bisa direalisir maka biaya beban real sebuah Taman Bacaan Masyarakat di pedesaan akan bisa ditekan.

Konsep sosialisasi teknologi informasi internet di kalangan masyarakat pedesaan sebenarnya tidak terlalu menjadi kendala. Teknologi ini menjadi asing dikarenakan munculnya stigma-stigama yang bernada pesimis yang selalu didengung-dengungkan. Ada yang mengatakan bahwa masyarakat pedesaan belum siap, belum mampu, terburu-buru, dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah apa tolok ukur atau indikator siap tidaknya sebuah komunitas di pedesaan menerima teknologi internet? Semua itu baru bisa dijawab jika konsep sosialisasi teknologi internet benar-benar sudah dicoba dijalankan di kalangan masyarakat pedesaan. Mereka banyak yang belum melek teknologi internet karena tidak pernah diberi kesempatan untuk memcoba, belajar, atau membiasakan diri dengan teknologi ini. Dengan cara sosialisasi yang kontinyu, tepat, serta, mensinergikan dengan adat budaya setempat maka kampanye teknologi internet yang nantinya diikuti dengan sosialisasi Perpustakaan Tanpa Dinding niscaya dapat mencapai target.

Pensosialisasian Internet bagi masyarakat pedesaan sekali lagi oleh beberapa pihak dianggap sebagai suatu wacana yang berlebihan dan tidak membumi. Namun jika kita cermati benar-benar hal ini sangat mungkin dilaksanakan. Penyediaan akses internet sekarang berkembang sedemikian pesat baik via wave line maupun gelombang radio. Jika benar-benar wacana ini diterapkan di pedesaan maka bisa saja didirikan tower di setiap kecamatan atau bekerja sama dengan penyedia jasa selular dimana tower mereka telah merambah ke pelosok-pelosok untuk memberikan layanan akses internet murah kepada masyarakat. Tanpa adanya usaha yang konkrit dan tulus dalam mengembangkan perpustakaan terutama perpustakaan tanpa dinding, sangat sulit sumber daya manusia kita secara keseluruhan mampu bersaing dengan negara-negara lain yang sudah maju dalam penggunaan teknologi informasi.. Akhirnya sudah saatnya kita berani untuk maju dengan benar-benar memberikan solusi yang tepat dan terarah untuk kemajuan rakyat bangsa ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar